Sunday, February 14, 2010

Kabupaten Wakatobi



Kabupaten Wakatobi adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Wangi-Wangi, dibentuk berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003. Luas wilayah 823 km² dan pada tahun 2003 berpenduduk 91.497 jiwa, terdiri dari laki-laki 44.843 jiwa dan perempuan 46.654 jiwa.

Wakatobi juga merupakan nama kawasan taman nasional yang ditetapkan pada tahun 1996, dengan total area 1,39 juta ha, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang; yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia.

PDRB Kabupaten Wakatobi berdasarkan harga berlaku pada tahun 2003 sebesar Rp. 179.774,04 juta, sedikit lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 160.473,67 juta. Berdasarkan harga berlaku, PDRB Perkapita Kabupaten Wakatobi pada tahun 2002 adalah sebesar 1.833.775,23 rupiah, menjadi 2.026.993,35 rupiah pada tahun 2003 atau naik sebesar 10,54 persen.


Keadaan Wilayah

Letak Geografis

Kabupaten Wakatobi terletak di kepulauan jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Dan bila ditinjau dari peta Provinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak dibagian selatan garis katulistiwa, memanjang dari utara ke selatan diantara 5.00 º - 6.25 º LS (sepanjang ± 160 km ) dan membentang dari barat ke timur diantara 123.34 º - 124.64 º BT (sepanjang ± 120 km ).

Luas Wilayah

Luas wilayah daratan ± 823 km² dan wilayah perairan laut diperkirakan seluas ± 18.377,31 km², berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Kabupaten Buton dan Kabupaten Buton Utara
Sebelah Timur : Laut Banda
Sebelah Selatan : Laut Flores
Sebelah Barat : Kabupaten Buton

Iklim

Keadaan musim pada umumnya sama seperti daerah–daerah lain di Indonesia dimana mempunyai 2 musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Wilayah daratan Kabupaten Wakatobi mempunyai ketinggian umumnya dibawah 1.000 m dari permukaan laut dan berada disekitar daerah katulistiwa, sehingga daerah ini beriklim tropis.


Pemerintahan

Kabupaten Wakatobi, saat ini dipimpin oleh Bupati Ir. Hugua.

Wilayah Administrasi

Wilayah administrasi untuk keadaan tahun 2003 terdiri dari 5 Kecamatan yaitu
Kecamatan Binongko
Kecamatan Kaledupa
Kecamatan Tomia
Kecamatan Wangi-Wangi
Kecamatan Wangi-Wangi Selatan
Liya Togo, Kecamatan Liya
Togo, Kecamatan Tomia Utara
Timu, Wakatobi,Kecamatan Timu

Pemerintahan Desa

Kabupaten Wakatobi terdiri dari 61 Desa/Kelurahan yaitu 45 Desa dan 16 Kelurahan. Dari 61 Desa/Kelurahan pada tahun 2003 tersebut, 10 desa telah mencapai desa Swasembada atau 15,63 %, 16 Desa Swakarya atau 25,00 % dan 38 desa Swadaya atau 59,38 %.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Komposisi perolehan kursi di DPRD Kabupaten Wakatobi hasil Pemilu 2004 berdasarkan partai peserta pemilu dan daerah pemilihan, dimana partai Golkar mendapat kursi terbanyak dengan mendapatkan 4 kursi disusul oleh PBB, PPP, PAN, PNBK, PBR dan PDIP dengan 2 kursi, selanjutnya Partai Merdeka, PKB, Partai Patriot Pancasila dan Partai Demokrat masing-masing 1 kursi dari 20 kursi di DPRD.


Penduduk dan Tenaga Kerja

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2000 berjumlah 87.793 jiwa yang terdiri dari laki-laki 42.620 jiwa dan perempuan 45.173 jiwa. Tiga tahun kemudian tahun 2003 diadakan pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan yang disingkat P4B secara sensus, dengan hasil jumlah penduduk sebanyak 91.497 jiwa atau selama tiga tahun naik sejumlah 3.704 jiwa atau sekitar 1,41 persen per tahun.

Persebaran Penduduk

Jumlah penduduk berada di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, 23,37 % berada di Kecamatan Wangi-Wangi, 19,05 % berada di Kecamatan Kaledupa, 17,86 % berada di Kecamatan Tomia dan 15,01 berada di Kecamatan Binongko.

Jumlah penduduk bila dibandingkan dengan luas wilayah, maka kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Kaledupa 166 jiwa/Km², menyusul Kecamatan Tomia 141 jiwa/Km², kemudian Kecamatan Wangi-Wangi Selatan 109 jiwa/Km².

Struktur Umur, Jenis Kelamin, dan Suku

Keadaan struktur penduduk pada tahun 2003, 34,55 % atau 31.610 jiwa adalah tergolong usia muda yang berusia 15 tahun kebawah,

Rasio jenis kelamin di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2003 sebesar 96,12.

Terdapat 8 suku bangsa yang mendiami daerah Kabupaten Wakatobi, dengan data tahun 2000 sebanyak 87.793, suku bangsa yang terbanyak adalah Wakatobi 91,33 %, Bajau 7,92 %, dan suku lainnya jumlahnya dibawah 1 %.

Ketenagakerjaan

Penduduk usia kerja sebanyak 70.343 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 23.981 jiwa atau 34,09 % dan perempuan sebanyak 36,362 jiwa atau 65,91 %. Terdapat angkatan kerja 40.395 jiwa terdiri dari yang bekerja 37.678 jiwa atau 93,27 % atau 53,56 % terhadap penduduk usia kerja dan pengangguran terbuka sebanyak 6,73 %. Bukan angkatan kerja sebanyak 29.408 jiwa atau 41,81 % dari usia kerja yang terdiri dari sekolah 15.740 jiwa atau 53,52 %, mengurus rumah tangga dan lainnya sebesar 13.668 jiwa atau 46,48 %.

Bila dilihat menurut lapangan usaha maka yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian dengan jumlah 43,609 jiwa atau 61,99 %, kemudian sektor perdagangan 15.635 jiwa atau 17,02 % disusul sektor jasa, industri dan transportasi.


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wakatobi


Sumber Gambar:

http://epress.anu.edu.au/apem/boats/images/map-2-2.jpg


Peta Wakatobi


View Larger Map

Profil Kabupaten Wakatobi

Kabupaten Wakatobi adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Wangi-Wangi. Kabupaten ini terletak diantara 5.00 - 6.25 Lintang Selatan dan 123.34 - 124.64 Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Wakatobi disebelah utara berbatasan dengan Laut banda, disebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, Sebelah timur berbatasan dengan Laut Flores, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda. Kabupaten Wakatobi memiliki luas wilayah daratan seluas 823 km2 dan wilayah perairan laut diperkirakan seluas 18.377,31 km2.

Dari seluruh lahan yang ada di Kabupaten Wakatobi, 37% digunakan untuk usaha pertanian yaitu untuk tegal/kebun, ladang/huma, tambak, kolam/tebat/empang, lahan untuk tanaman kayu-kayuan/hutan rakyat, dan perkebunan rakyat. Tanaman bahan makanan yang diusahakan di Kabupaten Wakatobi terdiri dari padi ladang, Jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah. Dari lima jenis tanaman bahan makanan yang diusahakan di Kabupaten Wakatobi, tanaman ubi kayu merupakan tanaman yang paling tinggi produksinya. Untuk Produksi tanaman buah-buahan di Kabupaten ini terdiri dari alpokat, belimbing, duku/langsat, jambu biji, Jambu Air, Jeruk, Mangga, Nangka/Cempedak, Nenas, Pepaya, Pisang, Sirsak dan Sukun. Kabupaten ini juga banyak menghasilkan produk sayur-sayuran seperti terdiri dari bawang merah, kacang merah, kacang panjang, cabe/lombok, tomat, terung, ketimun, labu, kangkung, bayam dan semangka.

Di sektor perkebunan, komoditas unggulan dari kabupaten ini terdiri dari 12 jenis yaitu Aren/Enau, Asam Jawa, Cengkeh, Jambu Mete, Coklat/Kakao, Kapuk, Kelapa Dalam, Kelapa Hibrida, Kemiri, Kopi, Lada dan Pala.

Sektor lain yang sudah lama menjadi urat nadi kegiatan ekonomi Wakatobi adalah perikanan. Di perairan wilayah ini hidup berbagai jenis ikan karang seperti botana, bendera, beberapa ikan hias, dan napoleon. Selain itu terdapat beberapa ikan ekonomis seperti cakalang, kerapu, sunu, cucut, tuna, dan kakap.

kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai taman nasional yang dijadikan tempat peneliti untuk meneliti terumbu karang. Salah satunya adalah Yayasan Pengembangan Wallacea lewat Operasi Wallacea. Wakatobi memang mempunyai data tarik tersendiri. Kepulauan yang juga dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi ini mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut. Ikan hiu, lumba-lumba, dan paus juga menjadi penghuni kawasan ini. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam.


Sumber Data:
Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2007
(01-8-2007)
BPS Provinsi Sulawesi Tenggara
Jl. Made Sabara No. 3, Kendari 93111
Telp (0401) 321751
Fax (0401) 322355

Sumber :
http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=7409

Garin Ajak Nadine Buat Film di Wakatobi


Sutradara kawakan, Garin Nugroho, akan menggandeng Putri Indonesia 2007 Nadine Chandrawinata dalam pembuatan film layar lebar yang mengambil lokasi di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Keterlibatan Nadine dalam film itu dilatarbelakangi oleh kesuksesannya dalam mempromosikan keindahan bawah laut Pulau WAkatobi, kata Bupati Wakatobi, Hugua, di Kendari, Jumat.

“Saya belum tahu judul film dan alur cerita yang akan diangkat dalam pembuatan film di Wakatobi, tetapi pihak produser melalui Nadine mungkin sudah pernah bercerita banyak dengan Sutradara Garin Nugroho tentang kisah keindahan taman laut di Wakatobi,” katanya.

Meski mengaku belum bertemu langsung dengan Garin Nugroho, Hugua yakin bahwa keberadaan Nadine dalam film ini akan banyak mewarnai ide cerita karena putri Indonesia itu banyak berpengalaman dalam penyelaman di dasar laut.

Wakatobi menyambut gembira rencana pembuatan film di Wakatobi karena akan bermanfaat dalam mempromosikan potensi daerah dan sekaligus bisa menjadi ikon tujuan bagi wisatawan dalam maupun luar negeri.

Menurut Hugua, secara pribadi artis cantik kelahiran Jerman 24 tahun silam itu juga sudah menyatakan keinginannya sebagai pemeran utama dalam film tersebut.

Nadine akan mengajak seluruh keluarganya, khususnya adik kembarnya, Marcel-Mischa Chandrawinata yang juga artis dan pemain sinetron untuk “bareng” dalam pembuatan film nanti, kata Hugua, mengutif pengakuan Nadine.(*)

Sumber:
http://www.antara.co.id/arc/2008/7/11/garin-ajak-nadine-buat-film-di-wakatobi/
dalam :
http://www.garinnugroho.com/2008/07/garin-ajak-nadine-buat-film-di-wakatobi/
22 Juli 2008

Sumber Gambar:
http://celebrity.okezone.com/images-data/content/2008/05/07/33/107202/hiTEC4MAYF.jpg

Keindahan Karang Wakatobi


Destinasi kali ini akan mengusik jiwa petualang anda. Sebuah kawasan yang masih terbilang masih asli menawarkan perjalanan yang tak terlupakan. Adalah Kepulauan Tukang Besi, sebuah gugusan kepulauan yang terdiri dari empat pulau besar dengan luas sekitar 821 km2. Empat pulau besar tersebut adalah Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko yang oleh masyarakat setempat biasa diakronimkan sebagai WAKATOBI.

Sebagaimana namanya, Tukang Besi, kepulauan ini memang terkenal dengan pembuatan keris tradisional yang indah dan tetap diproduksi hingga sekarang. Gugusan kepulauan ini memiliki alam yang masih asli, tenang dengan air laut yang segar, gua-gua bawah laut yang saling berdekatan satu sama lain yang disuguhkan khusus untuk pecinta alam sejati. Bisa dikatakan bahwa wilayah ini merupakan kawasan wisata taman laut pertama di Indonesia.

Meski menyelam bisa dilakukan setiap saat, tetapi bulan April dan Desember adalah bulan yang paling baik untuk melakukan penyelaman karena cuacanya sangat bagus. Di samping menyelam dan snorkling di pantai juga disediakan khusus motor selam, tour snorkling dan penjelajahan di kepulauan. Sebuah kawasan kecil yang berlokasi di samping pulau Tomia seluas 8 km2, bernama Pulau Tolandona (Pulau Onernobaa) memiliki keunikan karena pulau ini dikelilingi taman laut yang indah.

Setelah menempuh perjalanan 5-6 jam dengan kapal cepat dari Kendari, Bau-Bau menjadi tempat transit berikutnya ke Wakatobi. Perjalanan tidak dapat langsung karena jadwal penyeberangan Bau-Bau-Wanci, pintu gerbang Wakatobi terbatas. Lagi pula penyeberangan dengan kapal kayu sekitar satu hari akan sangat melelahkan. Jalur yang biasa dipakai dari Bau-Bau adalah perjalanan darat ke Lasalimu, kecamatan di sebelah tenggara Bau-Bau, sekitar 3 jam. Selanjutnya menyeberang ke Wakatobi. Itu pun jadwal penyeberangan sekali sehari, pukul 06.00.

Ada dua macam suku di Kepulauan Tukang Besi, yaitu Tukang Besi utara dan selatan. Total penduduk kedua suku tersebut kini mencapai kisaran 250.000 orang, tersebar di empat pulau besar Wakatobi. Mata pencarian suku Tukang Besi adalah bertani. Makanan pokok mereka adalah ubi-ubian, yang biasa dibakar dan dimakan bersama ikan. Suku Tukang Besi selatan juga termasuk rumpun suku Buton. Ketergantungan hidup mereka terletak pada hasil laut yang menjadi santapan sehari-hari.

Jika anda ingin berkunjung ke Wakatobi, pada bulan Juli-September ombak bisa setinggi gunung. Namun, bagi anda yang berjiwa petualang, ombak besar tidak menjadi halangan untuk mengunjungi gugusan kepulauan di antara Laut Banda dan Laut Flores ini. Tapi bila anda ingin lebih ‚aman’, bulan Oktober sampai awal Desember merupakan pilihan terbaik menikmati keindahan di Wakatobi. Begitulah beberapa pesan penduduk Wakatobi yang ditemui di Kota Bau-Bau.

Sebenarnya Wakatobi tidak hanya mengandalkan transportasi laut dari Bau-Bau atau Lasalimu. Sejak tahun 2001, transportasi udara bisa menjangkau wilayah kepulauan di timur Pulau Buton ini. Namun, ongkos perjalanan sangat mahal, selain itu transportasi udara hanya melayani jalur Denpasar-Wakatobi dengan jadwal tiap 11 hari.

Kepulauan Tukang Besi mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut. Ikan hiu, lumba-lumba dan paus juga menjadi penghuni kawasan ini. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam dan wisatawan. Sejak tahun 1996, kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai taman nasional.

Kawasan wisata juga terdapat di Pulau Wangi-Wangi, Hoga, pulau di sebelah Kaledupa dan Binongko. Selain snorkling dan diving, aktivitas pariwisata lain yang bisa dinikmati adalah pemandangan pantai, menyusuri gua, fotografi, berjemur, dan camping.

Empat pulau besar di Wakatobi memiliki karakteristik khusus, yakni setiap pulau merupakan satu wilayah kecamatan, kecuali Pulau Wangi-Wangi yang terdiri dari dua kecamatan. Wangi-Wangi, pulau pertama yang dijumpai saat memasuki Kabupaten Wakatobi, menjadi pintu gerbang dan paling dekat dengan Pulau Buton. Di sini terdapat pelabuhan besar yang melayani kapal barang dan penumpang di Desa Wanci. Jika Pulau Wangi-Wangi menjadi pintu gerbang transportasi laut, maka Pulau Tomia menjadi pintu gerbang transportasi udara.

Pastikan Wakatobi menjadi destinasi kunjungan anda selanjutnya. Berikan liburan yang sedikit berbeda kepada keluarga anda. So, it’s different vacation girls... ee


Sumber :
Perempuan.com, dalam :
http://liburan.info/content/view/162/43/lang,indonesian/

Sumber Gambar :
http://www.panoramio.com/photo/777855

Bupati Wakatobi Ir Hugua Raih Leadership MDGs Award 2009


Ir Hugua; meski memimpin kabupaten yang baru berusia enam tahun, ternyata berhasil menggondol Leadership MDGs (Millennium Development Goals) Award 2009.
Penghargaan tersebut diberikan oleh Kementerian Koordinator bidang Kesra berkerjasama dengan LeadershipPark Institute kepada sejumlah kepala daerah lainnya (dua orang gubernur, sembilan bupati dan delapan walikota). Menko Kesra Agung Laksono menyerahkan penghargaan tersebut, Rabu (23/12), di Auditorium TVRI, Jakarta.

Hugua -- empat tahun menjadi bupati-- merasa bangga, bahwa sepak terjangnya membangun Wakatobi ternyata membawa hasil. “Saya, seluruh aparat dan rakyat tidak sia-sia,” katanya ketika dimintai komentarnya oleh wartawan usai penyerahan penghargaan.

Delapan sasaran MDGs meliputi pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, pemerataan pendidikan dasar, mendukung persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, menuingkatkan kesehatan ibu, perlawanan terhadap HIV, AIDS, malarian dan penyakit lainnya, menjamin daya dukung lingkungan hidup dan mengebangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Ternyata Hugua dengan cerdas dan manis bisa memanfaatkan kemampuan pribadi, potensi alam dan kemampuan sumberdaya manusia daerah, semua elemen masyarakat Wakatobi untuk ‘menyelesaikan’ tantangan sasaran MDGs tersebut.

Dengan bertolak dari kebudayaan daerah, visi global, MDGs dijadikan semangat untuk mengubah standar lokal menjadi standar global. Spirit inilah yang dijadikan landasan Hugua untuk membangun daerah berpenduduk sekitar 100.600 jiwa tersebut.

Hugua yang mengibaratkan pemerintah pusat sebagai garuda besar dan pemerintah daerah sebagai garuda kecil (bertolak dari lambang Garuda Pancasila) , mengatakan pemerintah pusat harus memperhatikan dan bagaimana menjadikan agar garuda-garuda kecil tersebut benar-benar gemuk, dan bukan justru sebaliknya, garuda besar yang gemuk. “Garuda-garuda kecil harus kuat, sehingga paradigma daerah berubah menjadi paradigma global,” kilahnya.

Tak heran bila Perserikatan Bangsa-Bangsa pun memberi penghargaan kepada kabupaten yang kaya dengan jenis terumbu karang ini. Maklum Hugua bisa menurunkan angka kemiskinan hingga 7,0%, sukses dalam program wajib belajar 12 tahun dan rakyatnya terjamin kesehatannya. Betapa tidak, di Wakatobi perbandingan antara dokter dan penduduk 1 : 2.700. Artinya seorang dokter melayani sekitar 2.700 penduduk. “Fasilitas puskesmas, puskesmas pembantu maupun posyandu lumayan memadai,” katanya.

Meski demikian Hugua mengakui masih ada kendala, yakni para ibu hamil maupun yang akan melahirkan masih banyak yang mengandalkan para dukun. “Kami tidak melarang, namun para ibu tersebut setelah pergi dukun diharapkan juga ke bidan atau dokter. Jadi jangan melarang mereka pergi ke duku. Ke dukun silakan, tapi setelah itu silakan juga ke bidan atau dokter,” katanya.

Penghargaan di WOC

Tak kalah pentingnya tentu masalah lingkungan yang selalu dijaga, sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan berjalan lumintu. Dan ini tergambarkan pada upaya pemerintah kabupaten menjaga keberadaan terumbu karang yang beraneka ragam yang memiliki ratusan spesies

Pada acara World Ocean Conference (WOC) atau dikenal Konferensi Kelautan Dunia yang berlangsung pada pertengahan Mei di Manado (Sulawesi Utara), Bupati Wakatobi Hugua menerima penghargaan bersama tujuh gubernur, dan beberapa bupati dan walikota. Mereka dianugerahi oleh World Wildlife Fund (WWF).

Hugua mengungkapkan dirinya bersyukur karena mendapat penghargaan sebagai bupati yang berkomitmen dalam pembangunan kerakyatan berbasis lingkungan. Hal ini merupakan suatu hal yang luar biasa bagi pemerintah Wakatobi.

Salah satu yang ikut dipertahankan kelestariannya di perairan Wakatobi adalah populasi penyu dan keanekaragaman terumbu karang. Hal ini diungkapkan berdasarkan hasil pendataan WWF di Wakatobi yang dilakukan dalam kurung waktu satu tahun terakhir dan menunjukkan populasi penyu bertelur di daerah pulau-pulau penghuni bertambah 400 persen.

“Inilah salah satu kerja keras warga Wakatobi dalam rangka mempertahankan kelestarian populasi penyu di Wakatobi,” kata Hugua. (heru)


Sumber :
http://www.menkokesra.go.id/content/view/13817/39/

Sumber Gambar:
http://matanews.com/wp-content/uploads/Bupati-Wakatobi-Hugua.jpg

Wakatobi Pusat Penelitian Bawah Laut Dunia

Kekayaan keragaman hayati atau biodiversity terumbu karang di kawasan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bukan cuma menarik untuk kepentingan pariwisata, melainkan juga ilmu pengetahuan dan penelitian. Bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi ternama di Eropa, Pemerintah Kabupaten Wakatobi akan menjadikan Taman Nasional Wakatobi sebagai pusat keunggulan dunia untuk penelitian bawah laut.

”Proses pembangunan pusat keunggulan penelitian bawah laut dunia itu sedang dalam persiapan,” kata Hugua, Bupati Wakatobi, di Wangi-wangi, Wakatobi, Kamis (4/12).

Hugua menyebutkan, Wakatobi layak mengklaim sebagai surga nyata bawah laut di jantung segitiga terumbu karang dunia yang meliputi enam negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Pulau Solomon, dan Timor Leste. Taman Nasional Wakatobi memiliki 750 jenis terumbu karang dari 850 jenis terumbu karang di dunia.

”Dari tiga pusat penyelaman kelas dunia, Wakatobi lebih unggul dan menakjubkan. Ini sudah diakui dunia. Karibia hanya punya 50 jenis terumbu karang, sedangkan Laut Merah (Mesir) punya 300 jenis terumbu karang,” jelas Hugua.

Selama ini, peneliti dari sejumlah negara datang ke Wakatobi untuk meneliti biodiversity bawah laut. Bahkan, pada 2009 ratusan peneliti dunia akan mengadakan pertemuan untuk presentasi soal kajian bawah laut di Wakatobi.

Sebagai tahap awal, kata Hugua, Pemkab Wakatobi menyiapkan bangunan di Pulau Hoga untuk menjadi laboratorium lahan basah (wetland laboratorium) pada 2009. Untuk sumber energi, dikembangkan dari tenaga air, angin, atau matahari.

Veda Santiaji, Project Leader Joint Program The Nature Conservancy-WWF untuk Taman Nasional Wakatobi, mengatakan sumber daya alam di Wakatobi sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai laboratorium alam yang luar biasa. WWF mengidentifikasi delapan sumber daya alam yang penting di Taman Nasional Wakatobi.

Sumber daya alam di Wakatobi itu meliputi terumbu karang, mangrove, lamun atau padang rumput laut (sea grass), daerah pemijahan ikan, mamalia laut, burung-burung migrasi, peneluran penyu, dan ikan-ikan pesisir. ”Tetapi yang penting, Pemkab Wakatobi harus tegas soal zonasi wilayah yang sudah disepakati,” kata Veda.


Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/05/00381710/wakatobi.pusat.penelitian.bawah.laut.dunia, dalam :
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=8802&Itemid=838
5 Desember 2008

Selangkah Lagi, Taman Nasional Wakatobi Jadi Warisan Dunia

Dalam waktu dekat ini, Taman Nasional Wakatobi tidak lagi hanya menjadi perhatian atau urusan Pemerintah Republik Indonesia (RI) tetapi sudah akan menjadi perhatian dunia. Hal ini sejalan dengan diusulkannya daerah ini menjadi daftar wilayah yang menjadi warisan dunia dalam bidang kelautan. Kepala Bappeda Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Wakatobi, Ir Abdul Manan MSc yang ditemui Kendari Ekspres di Kantornya, Komplek Perkantoran Padakuru, Sabtu (24/1) lalu mengatakan saat ini Wakatobi telah masuk sebagai nominasi daerah yang diusulkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup menjadi warisan dunia bidang kelautan pada UNESCO. Lembaga dunia yang menangani hal ini.

Selain Taman Nasional Wakatobi juga ada Taman Nasional Bunaken dan Taka Bonerate. Semuanya Taman Nasional yang ada di Pulau Sulawesi.

Upaya pihak kementrian lingkungan hidup untuk memasukan Taman Nasional Wakatobi menjadi warisan dunia bidang kelautan memang tak salah. Daerah ini boleh dibilang sebagai bank genetiknya kehidupan bahari.

Merunut hasil penelitian Operation Wallacea selama puluhan tahun di Wakatobi. Dulu dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi. Wakatobi memiliki kekayaan bahari yang tidak tertandingi. Bayangkan 943 jenis ikan dunia ada didaerah ini dan sekitar 850 spesies karag dunia, 750 dinataranya bisa ditemui di laut Kabupaten Wakaobi. Sehingga kawasan ini layak disebut surga.

Ibarat sebuah rumah, laut dikawasan Kabupaten Wakatobi adalah salah satu tiang pancangnya. Posisinya yang begitu penting bagi keberadaan kehidupan di dunia.

Belum lagi kala Badai El Nino melanda dunia beberapa tahun yang lampau, banyak spesies di kawasan laut yang lain mati (16 - 60 %), Namun tidak demikian di Wakatobi. Kawasan ini tidak terkena dampak El Nino pada waktu itu, sehingga seorang ilmuwan dari Inggris Mr, Dive Smith Ph.D mengatakan kalau Wakatobi merupakan suatu keajaiban dan bank gen dunia. Selain itu Wakatobi menempati posisi strategis. Daerah ini tepat berada di Pusat Segi Tiga Karang Dunia (Coral Triangle Center).

Tidak hanya itu, Wakatobi memiliki 118.000 hektar terumbu karang dan atol kaledupa sepanjang 48 kilometer dan merupakan atol tunggal terpanjang di dunia.

Nama Wakatobi baru muncul pada 1996, dengan merangkum nama empat pulau utama di kawasan itu, yakni Wangiwangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Sejak itu pula, perairan ini ditetapkan sebagai taman nasional. Sebelumnya, ia disebut Kepulauan Tukang Besi, termasuk Kabupaten Buton. Kepulauan yang hanya memiliki daratan seluas 820 kilometer persegi, berpenduduk 100.500 jiwa, dan memiliki kawasan laut seluas 18.000 kilometer persegi itu mekar menjadi kabupaten sejak 2003. Berdasarkan Undang-Undang nomor 29 bersamaan dengan Kabupaten Bombana dan Kolaka Utara. Dari luas keseluruhan, 3.070 kilometer persegi di antaranya menjadi kawasan taman nasional.

Sebagai kepala daerah, Ir Hugua menyadari harus membangun daerahnya tanpa mengusik taman nasional. Maka, ia ingin "menjual" kekayaan laut untuk ekowisata. Ia tahu, daerahnya diakui sebagai surga laut. Sejumlah milyarder dunia, termasuk "raja software" Bill Gates, pernah datang menikmati panorama surga Wakatobi. Tapi Hugua ingin lebih banyak turis yang berkunjung. Tidak cukup hanya orang berduit yang datang dengan pesawat khusus ke resor swasta yang punya air-strip, landasan pacu mini, karena rakyat tak kecipratan rezekinya.

"Visi Wakatobi sekarang ialah bagaimana menciptakan surga di darat, dengan mengelola secara arif surga di laut baik melalui pemanfaatan wisata maupun perikanan" ucap Bupati Hugua dalam suatu kesempatan.


Sumber:
Kendari Ekspres, dalam :
http://www.bkprs-news.com/index.php?option=com_content&task=view&id=125&Itemid=116
2 Januari 2009

Wakatobi, Kabupaten Baru yang Sarat Prestasi

''Saya, seluruh aparat dan rakyat tidak sia-sia bekerja,'' kata-kata itu spontan dilontarkan Bupati Wakatobi Ir Hugua ketika ditemui pers usai menerima Leadership MDGs Award 2009 di Jakarta, Rabu (23/12).

Pantaslah rasa bangga itu menyeruak mengingat baru empat tahun tahun Hugua memimpin Wakatobi, sebuah kabupaten baru di Sulawesi Tenggara yang baru berusia enam tahun. Hasil pemekaran wilayah Kabupaten Buton. Nyatanya Wakatobi mampu bersaing dengan para 'senior' seperti Sragen, Kudus dan Purbalingga di Jawa Tengah maupun Solok dan Sawahlunto di Sumatera Barat.

Penghargaan Leadership MDGs Award 2009 diberikan Kementerian Koordinator bidang Kesra berkerjasama dengan LeadershipPark Institute kepada sejumlah kepala daerah lainnya (dua orang gubernur, sembilan bupati dan delapan walikota). Menko Kesra Agung Laksono menyerahkan penghargaan tersebut, Rabu (23/12), di Auditorium TVRI, Jakarta.

Delapan sasaran MDGs meliputi pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, pemerataan pendidikan dasar, mendukung persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, menuingkatkan kesehatan ibu, perlawanan terhadap HIV, AIDS, malarian dan penyakit lainnya, menjamin daya dukung lingkungan hidup dan mengebangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Ternyata Hugua dengan cerdas dan cekatan bisa memanfaatkan kemampuan pribadi, potensi alam dan kemampuan sumberdaya manusia daerah, semua elemen masyarakat Wakatobi untuk ‘menyelesaikan’ tantangan sasaran MDGs tersebut.

Mengubah Perilaku
Mengubah perilaku masyarakat tentu bukan hal mudah, apalagi jika kebiasaan itu terkait dengan kebutuhan hidup yang sudah berlangsung turun-temurun. Hugua, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kini menjadi Bupati Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ternyata mampu mengubah kebiasaan warganya.

Jauh sebelum menjadi Bupati Wakatobi, Hugua, ayah dari dua putra ini, memang dikenal sebagai sosok 'pendekar Lingkungan' yang pantang menyerah. Di tengah maraknya warga mengandalkan batu karang sebagai bahan bangunan rumah, ia tak patah arang. Kepiawaiannya mendekati warga di wilayah-wilayah pesisir dari rumah ke rumah, dengan menawarkan solusi membangun rumah menggunakan bahan kayu, akhirnya beroleh hasil. Tawaran solusinya itu kemudian bisa dipahami warga.

Melangkah dengan jejak pengalaman LSM dipadu kebudayaan daerah, visi global MDGs menjadi semangat Hugua untuk mengubah standar lokal menjadi standar global. Spirit inilah yang dijadikan landasan Hugua untuk membangun daerah berpenduduk sekitar 100.600 jiwa tersebut.

Hugua yang mengibaratkan pemerintah pusat sebagai garuda besar dan pemerintah daerah sebagai garuda kecil (bertolak dari lambang Garuda Pancasila) , mengatakan pemerintah pusat harus memperhatikan dan bagaimana menjadikan agar garuda-garuda kecil tersebut benar-benar gemuk, dan bukan justru sebaliknya, garuda besar yang gemuk.

“Garuda-garuda kecil harus kuat, sehingga paradigma daerah berubah menjadi paradigma global,” ungkap bapak dua anak.

Tak heran bila Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi penghargaan kepada kabupaten yang kaya dengan jenis terumbu karang ini. Maklum Hugua bisa menurunkan angka kemiskinan hingga 7%, sukses dalam program wajib belajar 12 tahun dan rakyatnya terjamin kesehatannya.

''Di Wakatobi perbandingan antara dokter dan penduduk adalah satu berbanding 2.700. Artinya seorang dokter melayani sekitar 2.700 penduduk. “Fasilitas puskesmas, puskesmas pembantu maupun posyandu lumayan memadai,” katanya.

Meski demikian Hugua mengakui masih ada kendala, yakni para ibu hamil maupun yang akan melahirkan masih banyak yang mengandalkan para dukun. “Kami tidak melarang, namun para ibu tersebut setelah pergi dukun diharapkan juga ke bidan atau dokter. Jadi jangan melarang mereka pergi ke dukun. Ke dukun silakan, tapi setelah itu silakan juga ke bidan atau dokter,” katanya.

Penghargaan WOC
Tak kalah pentingnya tentu masalah lingkungan yang selalu dijaga, sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan berjalan lancar. Dan ini tergambarkan pada upaya pemerintah kabupaten menjaga keberadaan terumbu karang yang beraneka ragam yang memiliki ratusan spesies

Pada acara World Ocean Conference (WOC) atau dikenal Konferensi Kelautan Dunia yang berlangsung pada pertengahan Mei 2009 di Manado (Sulawesi Utara), Bupati Wakatobi Hugua menerima penghargaan bersama tujuh gubernur, dan beberapa bupati dan walikota. Mereka dianugerahi oleh World Wildlife Fund (WWF).

Hugua mengungkapkan dirinya bersyukur karena mendapat penghargaan sebagai bupati yang berkomitmen dalam pembangunan kerakyatan berbasis lingkungan. Hal ini merupakan suatu hal yang luar biasa bagi pemerintah Wakatobi.

Salah satu yang ikut dipertahankan kelestariannya di perairan Wakatobi adalah populasi penyu dan keanekaragaman terumbu karang. Hal ini diungkapkan berdasarkan hasil pendataan WWF di Wakatobi yang dilakukan dalam kurung waktu satu tahun terakhir dan menunjukkan populasi penyu bertelur di daerah pulau-pulau penghuni bertambah 400 persen.

“Inilah salah satu kerja keras warga Wakatobi dalam rangka mempertahankan kelestarian populasi penyu di Wakatobi,” kata Hugua. (*)


Sumber :
http://beritabaru.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7465:wakatobi-kabupaten-baru-yang-sarat-prestasi&catid=62:nasional&Itemid=54
23 Desember 2009

Mendorong Pengelolaan Usaha Bersama Di Wakatobi

Ekonomi kerakyatan tersusun atas dua kata dasar “Ekonomi” dan “Rakyat”.Konsep ini tidak mempersoalkan perbedaan orang dalam perbedaan sosial, ekonomi dan budayanya. Semuanya sama. Namun, pada saat konsep rakyat diimbuhkan dengan konsep ekonomi politik, situasinya menjadi berbeda. Karena konsep ekonomi-politik penuh dengan kepentingan-kepentingan, dan seringkali terjadi manipulasi-manipulasi. Hal ini disebabkan karena kata rakyat bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual. Kata rakyat hampir mirip dengan kata hewan, yang tidak dapat ditangkap dan diamati secara visual, kecuali hewan tersebut adalah misalnya ayam. Hanya persoalannya terdapat begitu banyak obyek yang masuk dalam kategori hewan (serigala, musang, singa dll).

Persoalan yang sama terjadi pada konsep ekonomi kerakyatan, dimana harus jelas rakyat yang mana, siapa dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang, semua orang Indonesia berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor serigala digabungkan dengan 100 ekor ayam dalam satu ruang, maka semuanya disebut hewan. Walaupun dalam perjalanannya seekor serigala dapat saja memangsa 100 ekor ayam atas nama hewan. Jadi ekonomi kerakyatan merupakan upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi terhadap dominasi struktur dunia usaha.

Beranjak dari konsep ekonomi kerakyatan seperti tersebut di atas, maka Kawanusa bekerjasama dengan TNC-WWF Joint Project di Kawasan Taman Nasional Wakatobi menyelenggarakan pelatihan manajemen usaha dan manajemen keuangan kelompok pada bulan februari 2008 selama 5 hari. Tim dari Kawanusa yang menjadi fasilitator adalah Yoga Atmaja dan I Made Suarnatha. Pelatihan ini merupakan bagian dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh TNC-WWF Joint Project di Kawasan Taman Nasional Wakatobi terutama dalam upaya pengembangan masyarakat di sekitar kawasan.

Sebagaimana diketahui, sejak bulan Oktober 2005, Kawanusa dengan TNC-WWF Joint Project di Kawasan Taman Nasional Wakatobi telah melakukan kegiatan untuk mengorganisir masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam khususnya di wilayah laut. Selama kurun waktu 2 tahun tersebut, telah terlihat upaya terorganisir kelompok-kelompok masyarakat terutama nelayan di dalam meningkatkan taraf hidup secara bersama.

Kemajuan besar yang telah dicapai dengan adanya kelompok kelompok khususnya nelayan di Wakatobi dapat dilihat dari semakin diperhitungkannya suara dan pendapat mereka dalam pengelolaan wilayah laut. Hanya saja kemajuan nelayan berkelompok di dalam bidang politik tidak diimbangi dengan kemajuan nelayan dalam bidang ekonomi. Nelayan dan keluarganya terlihat masih asik berusaha sendiri, bila perlu saling sikut diantara mereka di dalam kelompok maupun antar kelompok. Kekuatan ekonomi kelompok yang belum bisa dibangun dengan tatanan yang kokoh ini akan memudahkan kelompok nelayan terpancing, terkooptasi dan ditunggangi dengan permainan politik praktis sesaat (seperti pemilihan kepala desa, pilkada, maupun pemilu), bukannya malah membangun tatanan politik ekonomi sumber daya alam yang lebih strategis dan bermanfaat bagi keberlanjutan penghidupan nelayan dan keluarga.


Sumber :
http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=8
13 Juli 2008

2010 Garuda Buka Rute Penerbangan ke Wakatobi

Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) menargetkan 2010 pesawat Garuda Air akan membuka rute Jakarta-Makassar-Wakatobi pulang pergi. Sebelumnya landasan Bandara Matahora belum memenuhi standar untuk pesawat berbadan lebar dan diharapkan akhir 2010 dapat berjalan sesuai dengan rencana. Pembangunan Bandara ini telah menelan biaya puluhan miliar dan rencana diperpanjang menjadi 2.100-2.400 meter agar dapat melayani berbagai macam pesawat dan sangat penting untuk mempermudah akses transportasi ke daerah tersebut.

Hal ini juga dapat menghemat waktu bagi para wisatawan yang ingin menghabiskan masa liburannya dengan menempuh perjalanan yang cepat, aman dan rasa nyaman serta dapat menikmati keindahan alam bawah laut di Wakatobi. Sebelumnya hal ini sempat menjadi pertimbangan bagi para wisatawan dikarenakan masalah transportasi selain itu diharapkan pula dengan perkembangan ekonomi yang semakin membaik seiring dengan sarana akses transportasi yang semakin terbuka.

Bupati Wakatobi, Hugua optimis jumlah wisatawan bisa meningkat 10 kali lipat di tahun ini.


Sumber:
http://www.semuajadwal.net/index.php/2010-garuda-buka-rute-penerbangan-ke-wakatobi
12 januari 2010

Wakatobi: Surga di Atas dan di Bawah





Ketika mendapatkan tawaran pertama kali untuk mengerjakan proyek di Kabupaten Wakatobi, yang terlintas dalam ingatanku adalah Nadine Candrawinata, mantan Puteri Indonesia itu. Saya tidak tahu di mana itu Wakatobi. Aku hanya sering mendengar di berita-berita infotainment kalau Nadine sering menyelam disana, dan merupakan duta wisata disana. Parah benar diriku ini.

Solusinya, aku bertanya kepada Mbah google, di mana Wakatobi itu, dan bagaimana bisa mencapai ke sana. Dalam beberapa detik, muncul ribuan link ke Wakatobi. Sakti sekali Si Mbah yang satu ini. Lebih sakti dari Mama Laurent. Nah, ternyata, Wakatobi itu adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Terletak di Laut Banda, Wakatobi dulunya hanya kecamatan di Kabupaten Buton sebelum mekar pada Desember 2003. Ir. Hugua menjadi bupati pertama yang dipilih melalui Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 2006 yang lalu. Hugua adalah orang asli Wakatobi, tepatnya dari Pulau Tomia.

Wakatobi sendiri merupakan akronim dari empat pulau besar yang ada disana. Yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.

Sebuah kombinasi yang unik, yang membuat saya berpikir juga kalau Wakatobi itu ada di Jepang! Tiap pulau ini punya ciri khas yang menonjol. Misalnya, Wangi-Wangi maju sebagai pusat ekonomi, Kaledupa dan Tomia sebagai pusat pendidikan, dan Binongko sebagai pusat penyebaran agama Islam.

Wakatobi sendiri sebenarnya memiliki 142 pulau, tapi yang dihuni 7 pulau saja. Jadi, 97 persen wilayah kabupaten ini adalah lautan. Daratan hanya 3 persen saja. Dulunya, kawasan ini dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi. Di dalam beberapa peta, masih ada sisa penyebutan Kepulauan Tukang Besi. Meskipun sebenarnya yang menjadi daerah penghasil alat-alat dari besi itu hanya ada di Pulau Binongko. Tapi konon, alat-alat dari besi yang dihasilkan oleh pulau ini memang ciamik. Dari peralatan-peralatan besi yang paling besar sampai dengan yang paling kecil.

Tampak di internet indahnya pemandangan pantai dan bawah lautnya. Memang, Wakatobi termasuk dalam jalur segitiga karang dunia (world coral triangle). Di dunia ini adalah 6 negara yang masuk dalam segitiga emas ini. Terbentang dari Thailand, Malaysia, Philiphina, Indonesia (Bunaken, Wakatobi, Bali, dan Lombok), Timor Leste, Papua Nugini dan berakhir di Solomon. Dan, Wakatobi, tepat berada di jantungnya.

Berdasarkan data dari Operational Wallacea (Opwal), Wakatobi memiliki 750 species coral dari 850 yang ada di dunia. Lebih banyak dari koleksi di Karibia yang hanya 650 species. Tak heran, kalau keindahan dunia bawah laut di Wakatobi akan setimpal dengan pemandangan di atas lautnya. Belum lagi kekayaan budaya.Tiap pulau memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Namun, yang lebih penting adalah bagaimana bisa pergi ke sana. Dari hasil googling, hanya ada dua cara. Yaitu, naik kapal dan pesawat. Kalau naik kapal, bisa dari Makassar-Bau-Bau-Wakatobi atau Kendari-Bau-Bau-Wakatobi (lebih tepatnya Pulau Wangi-Wangi). Kalau naik pesawat (Merpati) dari Bali.

Langsung saja aku telepon kantor Merpati di Surabaya. Kata Mbak operator, “Wakatobi itu di mana ya, Mbak? Kok saya belum pernah mendengarnya” aku masih ngeyel. Aku tidak percaya si Mbak tidak tahu produk yang dijualnya.

Lha, aku jelaskan kepada Si Mbak, kalau aku dapat info di internet, bla bla bla… Si Mbak tetap ngeyel juga. Aku malah mau ditawarin tiket mau Biak!. Waduh, jauh bangetttt bedanya. Biak dengan Wakatobi. Ketika aku bertemu dengan Hugua, bupati Wakatobi, beberapa saat setelah itu, aku jadi tahu, kalau Merpati terbang ke sana itu hanya uji coba. Pesawat uji coba memang menggunakan Merpati Airlines. Para penumpang ujicoba pesawat ini adalah para orang-orang tua, diajak keliling-keliling pulau Wangi-Wangi.

So, pilihannya hanya dengan kapal laut. Kalau diperinci perjalanan dari Makassar ke Bau-Bau selama 12 jam, disambung dari Bau-Bau ke Wakatobi selama tujuh jam. Itupuan dengan catatan kalau ombak laut sedang tenang dan bersahabat. Kalau tidak, belum bisa dipastikan berapa lama waktu yang kita butuhkan.

Ombak Laut Banda tidak pernah bisa diprediksi. Bisa mencapai 6 meter atau 7 meter. Aku ngeri membayangkan itu. Bukan apa-apa, karena aku tidak bisa berenang. Memalukan ya? Kalau memang tidak ada pilihan lain, aku sudah siap-siap membeli baju pelampung. Tapi ketakutan ini tidak bisa menghilangkan rasa excited. Penasaran bercampur takut. Semuanya bercampur menjadi satu, dan membuat perutku mules. Tapi, ya namanya adrenalin. Terpacu terus.

Lalu, datanglah kabar baik itu, dari seorang rekan di Kendari, Pak Ruslan. Kata Pak Ruslan, sekarang ada pesawat yang kesana. Maskapainya bernama Susi Air. Maskapai milik Susi Pudjiastuti, pengusaha perikanan asal Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Kepada Susi Air, pemda menggunakan sistem charteran. Karena itu tidak heran, kalau di tiket kita, akan tertera Pemerintah Kabupaten Wakatobi.

Untuk charter ini, pemda mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 1,2 milyar setahunnya. Kenapa harus charter? Karena, bandara Matahora di Pulau Wangi-Wangi belum mengantongi ijin operasional dari Departemen Perhubungan (Dephub). Karena itu, pesawat komersil belum bisa operasi. Hanya pesawat charter yang boleh mendarat di sini.

Penerbangan ke Wakatobi launching pada Juli 2009. Selama satu minggu, pesawat ini terbang tiap hari. Sehari sebanyak dua kali. Pagi dan sore. Kalau pagi terbang jam 08.30, dan kalau sore jam 15.30. Baru baliknya membawa penumpang dari Wakatobi ke Kendari. Di Kendari, hanya satu agen travel yang menjual tiket Susi Air ini. Yaitu, Patapulo di depan mall Mandonga, Kendari. Harga tiket, kalau kita beli lebih dari lima tiket, bisa mendapatkan harga sekitar Rp. 500 ribu untuk yang dari Kendari. Tetapi, kalau dari Wakatobi orang yang bukan penduduk Wakatobi, harus membayar Rp. 700 ribu. Sebab, subsidi hanya diperuntukkan bagi orang Wakatobi.

Dengan adanya penerbangan kesana, aku jadi tenang dan semakin bersemangat pergi kesana.


Pulau Wangi-Wangi: Pusat Ekonomi

Pesawat yang kami tumpangi, Susi Air menggunakan jenis Cesna 208 B Grand Caravan. Pesawat ini diisi 12 orang penumpang. Di kalangan orang Wakatobi sering muncul gurauan penamaan pesawat ini. DC 12 (dibaca: diisi 12). Pesawat ini terbang rendah sekali di atas Laut Banda. Saya tidak tahu berapa ketinggiannya, mungkin sekitar 7.500 di atas permukaan laut (DPL). Pesawat ini dikemudikan oleh pilot dan co-pilot import. Mereka cakep-cakep. Ada yang bilang mereka dari Italia. Ya, dengan adanya dua mas-mas ini, penerbangan semakin menyenangkan. Kalau dalam penerbangan apapun, biasanya aku sudah tidur sebelum take off, dalam penerbangan ini, tidak sekejap pun bisa memejamkan mata. Selain karena pemandangan alam begitu indah dengan Laut Banda dan pulau-pulau kecil di bawah sana, juga karena mas-mas cakep ini.

Dari atas, aku bisa melihat kapal-kapal cepat yang melintas di Laut Banda. Melihat hutan-hutan tropis di bawah sana. Ada yang hutannya masih tebal, tetapi ada juga beberapa yang gundul. Kadang, terlihat pulau-pulau berpenghuni. Tapi masih sangat jarang-jarang penduduknya. Kadang, pulau-pulau kosong. Hanya ada pulau, dan hamparan pasir putih. Dari atas, terlihat warna biru dan hijaunya laut di bawah sana. Masih sangat bersih.


Membuatku merasa sangat sentimentil. Overwhelmed.

Dalam satu perjalanan pulang, aku melihat sinar surya senja melimpahi Laut Banda. Begitu indah. Aku jadi teringat pelajaran Geografi jaman sekolah dulu. Tentang luasnya Indonesiaku. Tentang kenapa kepulauan terbesar di dunia ini dinamakan Indonesia. Tentang pulau-pulaunya. Tentang laut-lautnya. Huhg, jadi sedikit sentimentil pokoknya.

Dibutuhkan penerbangan selama 40 menit dari Bandara Wolter Monginsidi di Kendari sampai dengan bandara Matahora di Pulau Wangi-Wangi. Pulau ini merupakan pusat pemerintahan Wakatobi. Ketika mendekati Wangi-Wangi, nampak dari atas atol yang membelit pulau ini. Konon, dengan adanya atol ini bisa menyelamatkan Wangi-Wangi seandainya terjadi gempa tektonik di bawah laut dan terjadi tsunami.

Bandara Matahora belum selesai proses pembangunannya. Masih ada satu bangunan kecil bergenting dicat biru yang merupakan pusat semua kegiatan di bandara itu. Ya ruang tunggu, ya counter check in. Masih ada satu maskapai disana. Ya, Susi Air itu tadi.

Pembangunan bandara ini adalah upaya untuk membuka keterisolasian daerah ini. Bagaimanapun bagusnya objek wisata di kabupaten ini, kalau aksesnya sulit, akan sangat susah untuk mengundang wisatawan agar mau datang.

Tidak semua orang mau menempuh perjalanan laut yang sangat panjang. Ini terkait dengan visi dan misi bupati untuk fokus terhadap pembangunan sektor perikanan dan kelautan dan pariwisata. Bagi daerah yang masih sangat muda (6 tahun), adalah sebuah prestasi menakjubkan bisa membangun bandara.

Jarak antara bandara dengan pusat pemerintahan di Wanci kurang lebih 30 kilometer. Jalan-jalan protokol mulai dibangun. Belum sepenuhnya selesai semua. Masih banyak tumpukan material di jalan-jalan. Selain pusat pemerintahan, Wangi-Wangi juga merupakan pusat perkembangan ekonomi dibandingkan dengan tiga pulau besar lainnya. Pulau Kaledupa dan Tomia maju di bidang pendidikan. Sedangkan, Binongko yang merupakan pulau besar terjauh, terkenal dengan tempat persebaran agama Islam. Di Wakatobi, Islam adalah agama yang dipeluk oleh penduduk asli. Belum ada bangunan gereja atau tempat ibadah lainnya. Hanya masjid.

Dari sejarahnya, Wangi-Wangi memang didatangi para nelayan terlebih dahulu. Menurut cerita masyarakat setempat, para nelayan dari Ambon atau tempat lainnya di perairan Banda, sebelum mereka ke Buton, terlebih dahulu singgah di pulau ini. Mereka menjemur ikan-ikan hasil tangkapannya dan mengeringkannya disini. Tidak ketinggalan, rempah-rempah.

Udara Wangi-Wangi sangat panas. Tanahnya terdiri karang dan kapur kars. Di sepanjang jalan, hanya ada tanaman mete dan ubi kayu. Ada istilah, kalau di Wangi-Wangi ini, tumbuhan bukan ditanam di tanah, tetapi di karang. Tanah-tanah ada di atas bebatuan. Tanah-tanah ini terbentuk dari tumbuhan-tumbuhan yang jatuh ke atas bebatuan, menjadi humus dan kemudian menjadi tanah.

Desa pertama yang dijumpai menuju Wanci adalah Desa Matahora. Tetapi, desa ini tidak terlalu panjang. Wilayah Matahora tidak terlalu panjang di jalan protokol karena lebih masuk ke dalam, ke pinggiran pantai. Ada dua daerah pantai disini. Yaitu di Matahora sendiri, dan di Dusun Sousu.

Kemudian disusul Longa. Rumah-rumah di Longa berderet dengan rapi dan teratur. Rumah-rumah saling berhadapan satu sama lain. Rumah dari batu bata semua. Pagar-pagar juga dibuat seragam. Tidak nampak rumah panggung di desa ini. Kalau di desa Matahora, pagarnya dari batako, di Longa pagar-pagar rumah penduduk dari bambu. Melihat keseragaman pagar ini mengingatkan aku pada desa-desa di Jawa pada dekade 80-an. Di mana rumah-rumah dan pagar-pagar masih sangat seragam.

Perjalanan ke Wanci dibutuhkan waktu sekitar 20 menit. Itu karena jalan yang belum semuanya bagus. Di sepanjang jalan ini, dilalui juga beberapa desa, seperti Patuno, Waetuna dan Waha. Patuno dan Waetuna merupakan desa-desa penghasil ikan tuna di Wangi-Wangi. Selain itu, Waetuna dan Paetuna dikenal dengan pantainya yang indah.

Desa terakhir sebelum memasuki Wanci adalah Waha. Di perbatasan kedua desa, ada sebuah tugu. Tugu itu, sekaligus menandai mulai adanya coverage jaringan Telkomsel! Tak heran, setelah tugu ini, ada spanduk Telkomsel. Sementara itu, Waha sampai dengan Matahora dikenal dengan nama WTS alias Wilayah Tanpa Signal. Sebenarnya, di beberapa desa sebelum Waha, yang bisa coverage-nya adalah Indosat. Mereka memanfaatkan BTS yang ada di Pulau Kaledupa.

Selain infrastruktur jalan yang masih semuanya belum diaspal, masih ada kendala transportasi. Angkutan kota atau biasa disebut dengan pete-pete, baru ada dari Longa. Sementara dari bandara belum ada transporasi ke arah kota. Tapi, biasanya, orang akan dengan senang hati memberikan tumpangan dari bandara sampai dengan Wanci.

Di Wanci, mulai terlihat aktivitas ekonomi yang menggeliat. Pasar sentral ada di tempat ini. Selain itu, kantor-kantor pemerintah, kantor pos, bank, kantor polisi, dan sebagainya.

Hotel-hotel sudah mulai bermunculan di Wanci. Ini merupakan pengaruh geliat wisata di Wakatobi. Hotel yang bisa ditemui antara lain Hotel Wakatobi, Hotel Azziziyah, Hotel Ratna, dan sebagainya. Mulai muncul juga restoran-restoran. Seperti restoran Wisata. Rental kendaraan juga tersedia. Kalau mobil berkisar antara Rp. 300 ribu sampai dengan Rp. 600 ribu. Bisa juga menyewa sepeda motor. Per hari Rp. 40 ribu.

Di Wangi-Wangi, objek wisata selain pantai adalah adanya beberapa diving spots dan benteng Liya Togo di Desa Liya Togo. Tempat ini merupakan peninggalan masa Kesultanan Buton. Ini merupakan daerah keraton. Yang terbentang mulai dari Liya Timi. Dari Liya Timi, mulai terasa daerah keratonnya. Menjelang masuk ke Liya Togo, mulai berjajar rumah panggung dari kayu dengan arsitektur yang agak unik. Benteng ini melingkupi desa. Di dalam benteng, terdapat beberapa peninggalan bersejarah juga. Seperti misalnya, Masjid Al Mubaraq ataupun makam ulama di dekat masjid.

Masjid Al Mubaraq batu pertamanya diletakkan pada 1548, delapan tahun setelah didirikannya Kesulatanan Buton. Kalau dilihat sekilas, masjid ini memang telah dibangun dari tembok. Tapi, sebenarnya masjid ini baru saja direnovasi bagian atasnya. Yang masih dibiarkan peninggalan dari masa kesultanan adalah pondasinya. Kalau diamati dengan mendalam, pondasi masjid ini dibangun dengan begitu kuat. Dari batuan barang. Di depan masjid teronggok bekas meriam jaman dulu.

Dua kali mengunjungi Wakatobi, hanya sempat singgah di dua pulau saja. Yaitu Wangi-Wangi dan Kaledupa. Tidak sempat juga singgah di Pulau Hoga, padahal hanya 15 menit naik kapal nelayan dari Kaledupa. Tidak sempat juga untuk merasakan menyelam atau sekedar snorkeling. Jadi, aku tidak bisa membuktikan indahnya surga bawah laut. Hanya tahu surga atas lautnya saja.


Sumber :
Hariatni Novitasar
http://baltyra.com/2009/10/27/anak-negeri-wakatobi/
27 Oktober 2009

Raih 6 Penghargaan - Bupati Wakatobi Patut Dicontoh

Sungguh patut dicontoh prestasi Bupati Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Hugua dalam memimpin dan memajukan daerahnya. Kerja keras yang dilakukannya akhirnya berbuah manis, dimana Wakatobi menerima enam penghargaan sepanjang 2009, atau sejak daerah itu menjadi otonomi dalam empat tahun terakhir.

Hugua mengatakan, enam penghargaan tersebut adalah dari Menparpostel sebagai daerah destinasi unik karena keindahan taman lautnya, dari Manteri Pekerjaan Umum sebagai bentuk penghargaan kabupaten yang sudah menetapkan tata ruang secara berkelanjutan.

Penghargaan lain adalah MDG`s Award dari PBB dan Metro TV terkait keberhasilan daerah itu dalam delapan cakupan kehidupan yang berkaitan dengan indeks pengembangan manusia di antaranya kemiskinan, kesehatan dan pendidikan.

Selain itu, penghargaan Leadership Milenium Development Goals (MDGs) Award 2009 dari Menkokesra dan penghargaan Icon dari majalah Gatra.

Menurut Bupati, pemberian penghargaan itu sebagai wujud keberhasilan dari semua elemen masyarakat Wakatobi dari berbagai aspek pembangunan dan pemerintahan, mulai dari penataan birokrasi, pembangunan fisik, sosial budaya, agama dan kemasyarakatan.

“Program Penghargaan itu merupakan bentuk penilaian baik dari pemerintah pusat maupun dari berbagai lembaga nonpemerintah yang tidak mengikat. Ini merupakan satu kesyukuran sekaligus kebanggaan tersendiri. Apalagi Wakatobi baru mekar empat tahun terakhir,” katanya di Kendari, Selasa.

Masyarakat Wakatobi patut bersyukur bahwa dalam satu tahun terakhir ini pemerintah sudah mendapat lima penghargaan. Khusus di Sultra merupakan daerah penerima penghargaan terbanyak dari 10 kabupaten dan dua kota di Sultra.

Ia mengatakan, pada akhir tahun 2009, pihaknya kembali akan menerima penghargaan Icon Gatra. Penghargaan Icon Gatra itu menetapkan dua bupati dan satu gubernur, kata Hugua, namun tidak menyebutkan siapa bupati dan gubernur yang dimaksud.(*an/z)


Sumber :
http://matanews.com/2009/12/29/bupati-wakatobi-patut-dicontoh/
29 Desember 2009

Wakatobi Bebas Sampah Plastik

Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) bebas sampah plastik setelah Bupati, Ir Hugua dan Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sultra, Drs H Yusran Silondae, MSi menggelar aksi gerakan tanpa sampah di daerah itu.

Bupati Wakatobi, Hugua di Kendari, Sabtu, mengatakan, gerakan tanpa sampah merupakan wujud kepedulian pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan daerah itu benar-benar bebas dari sampah yang bukan saja dari sampah plastik tetapi juga sampah-sampah non plastik.

"Tujuan dari gerakan bebas sampah ini adalah untuk mengajak masyarakat agar mencintai kebersihan serta bisa menciptakan kondisi lingkungan yang bersih dan sekaligus bagian dari daya tarik Wakatobi sebagai daerah pariwisata masa kini," katanya.

Pencanangan bebas sampah palstik yang dihadiri Plt Gubernur Sultra Yusran Suilondae (30/3) bersama sejumlah pejabat eselon II Sultra merupakan rangkaian kunjungan kerja dan membuka acara rapat kerja pembangunan daerah (Rakorbang) tingkat kabupaten Wakatobi.

"Sebenarnya pencanangan gerakan tanpa sampah plastik, sudah kami canangkan (28/3) yang dipusatkan di Kecamatan Kaledupa, bersamaan dengan Kegiatan TNI dan Polri manunggal di daerah itu, " katanya.

Menurut Hugua, sampah-sampah plastik bila tidak dibersihkan mulai saat ini akan bisa membahayakan ekosistem biota laut, sebab sampah itu melekat di sela-sela terumbu karang.

Ia mengatakan, tidak semua sampah plastik itu ikut dimusnahkan, tetapi juga ada yang bisa bernilai ekonomi bagi masyarakat dengan cara dikumpal pada lokasi tertentu untuk di daur ulang.

Aksi gerakan tanpa sampah plastik, dilakukan setiap Jumat pagi sebelum para pegawai negeri sipil (PNS) masuk kantor dan anak sekolah masuk belajar dan seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali.

Plt Gubernur Sultra, Yusran Silondae mengatakan, gerakan memungut sampah plastik yang dilakukan pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Wakatobi merupakan wujud suatu pemerintahan yang bersih dan bernilai ibadah.

"Mudah-mudahan gerakan ini, tidak hanya sesaat tetapi berkelanjutan hingga terus menerus dalam kehidupan masyarakat di daerah Wakatobi," katanya.

Sumber :
Antara, dalam :
http://www.dml.or.id/dml5/content/view/129/2/
1 April 2007

Surga Laut di Kepulauan Wakatobi


Pasir putih terhampar sepanjang pesisir. Nyiur melambai disapu angin pantai. Saat laut surut, keindahan alam bawah laut kian menggoda. Ikan-ikan bercumbu di sela-sela terumbu karang. Keindahan itu bisa disaksikan cukup dengan mata telanjang. Wakatobi, di sanalah, pesona alam nan surgawi.

Wakatobi adalah nama yang diambil dari kependekan pulau terbesar yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko yang terletak di sebelah tenggara Sulawesi. Dahulu, orang menyebutnya di Kepulauan Tukang Besi. Kawasan seluas 1,39 juta hektare itulah yang kemudian dijadikan taman nasional laut pada tahun 1996. Luas kawasan itu pula yang menjadi disahkan sebagai Kabupaten Wakatobi pada tahun 2004.

Sektor pariwisata Wakatobi memang sedang menggeliat. Pemda setempat terus membenahi infrastruktur untuk menunjang pengembangan pariwisata. Hingga kini, arus kunjungan wisata telah mencapai 3.000-5.000 orang per tahun. Namun, kunjungan wisata masih didominasi turis asing asal Eropa dan Amerika.

Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) memang merupakan taman laut terbesar kedua setelah Taman Nasional laut Teluk Cendrawasih di Papua. Di kepulauan ini, banyak orang mengagumi pesona Karang Kaledupa yang merupakan karang terluas dan terpanjang di Indonesia. TNKW memang terletak di kawasan Segitiga Terumbu Karang Dunia.
Kepulauan Wakatobi memiliki 25 gugusan terumbu karang. Terumbu karang tersebar di antara 37 pulau yang ada. Di kepulauan ini, baru enam pulau saja yang dihuni. Sementara hanya 11 pulau yang memiliki nama. Sisanya, 31 pulau masih tak bernama dan belum dikelola. Para wisatawan yang datang , umumnya melakukan kegiatan selam, snorkeling, berenang, berkemah dan wisata budaya.

Keindahan alam Wakatobi memang berasal dari kekayaan sumber daya alamnya. Kajian ekologi yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada tahun 2003 menemukan 396 jenis karang batu penyusun terumbu karang. Di kawasan itu, sebanyak 590 jenis ikan ditemukan berkembang biak.

Seorang pengusaha asal Swiss bernama Lorenz Mader bahkan telah membuka Wakatobi Dive Resort, yang menawarkan wisata selam. Resor tersebut malah sudah dilengkapi dengan bandara perintis, yang melayani turis langsung dari Bali. "Musim kunjungan terbaik adalah bulan April sampai Juni dan Oktober sampai Desember. Di luar bulan itu, ombak terlalu besar sehingga terlalu berisiko untuk melakukan perjalanan.

Selain Wakatobi Resort, ada beberapa perusahaan yang mengurus kunjungan wisatawan ke Wakatobi dan kawasan wisata lainnya di Kabupaten Buton, antara lain Badan Pengembangan Wallacea (Jakarta) dan Wolio Travel (Baubau). Biasanya, wisata-wan juga dapat menggunakan kapal besar dari Kendari. Jarak Kendari-Wakatobi dapat ditempuh dalam waktu 16 jam.

Wisatawan yang berkunjung ke TNKW dapat menginap di 63 bungalow, milik pemda di Pulau Hoga. Sementara PT Wakatobi Dive Resort mengelola Pulau Onemobaa, pulau kecil berpasir putih secara eksklusif. Namun paket wisata di sana relatif mahal. Sementara di Pulau Hoga, sebelah utara Pulau Kaledupa, tarif menginap di satu bungalow masih Rp 50.000, per malam.

Masing-masing pulau tersebut berstatus pemerintahan kecamatan. Kepulauan yang terletak di Laut Banda itu berjarak 150-200 mil dari Baubau, ibu kota Kabupaten Buton. Dahulu Wakatobi memang menjadi bagian dengan Kabupaten Buton. Itu sebabnya, sebagian wisatawan kadang juga memilih rute Kendari - Bau-Bau - Wanci. "Setiap hari, ada dua kali kapal cepat, dengan lama 5 jam perjalanan. Ada juga kapal kayu, tetapi memakan waktu 12 jam perjalanan.

Setelah mengenal rumpon, para nelayan makin mudah mendapatkan ikan. Seekor ikan tuna dengan berat 4 kg dijual dengan harga Rp 20.000.

Berbagai spesies ikan memang dapat ditemukan dengan mudah. Mulai dari kakap, kerapu, ekor kuning, tuna, napoleon, sampai hiu. Jika beruntung, wisatawan juga dapat menyaksikan iringan lumba-lumba berenang dari atas kapal.

Tiga bulan sekali, beberapa kapal pengumpul ikan berlabuh di perairan Tomia. Kapal-kapal itu membeli ikan dari para nelayan setempat. Hampir sebulan penuh, mereka mengisi muatan. Salah satu kapal pengumpul malah berasal dari Muara Baru, Jakarta. Menurut mereka, ikan-ikan itu akan dipasok untuk pasar-pasar Jakarta. Jika waktu perjalanan mencapai dua minggu, bisa dibayangkan, berapa lama ikan-ikan dalam pengawetan?

Wakatobi tidak hanya punya daya tarik alam. Di kepulauan itu, ada beberapa perkampungan Suku Bajo yang didirikan di atas laut. Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh. Para nelayan Bajo juga dikenal mampu menangkap ikan hanya dengan tombak. Di pulau Kaledupa dan Binongko, wisatawan dapat membeli kain tenun hasil kerajinan penduduk setempat. Sehelai kain tenun ikat dijual dengan harga Rp 100.000- Rp 200.000.

Di Kaledupa, kerajinan yang dikenal adalah kain sarung Wuray dan tikar lipat. Jika mampir ke Pulau Binongko, jangan ragu mengunjungi lokasi para pengrajin besi. Dari para pengrajin inilah, Wakatobi dikenal sebagai kepulauan Tukang Besi.


Sumber :
Agung Septianto W., SST.
http://sultra.bps.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=30

5 Desember 2007

Sumber Gambar:
http://www.umbria.co.uk/worldwide/southeast_asia/images/wakatobi2.jpg

Taman Nasional Wakatobi


Taman Nasional Wakatobi memiliki potensi sumberdaya alam laut yang bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya, dengan panorama bawah laut yang menakjubkan. Secara umum perairan lautnya mempunyai konfigurasi dari mulai datar sampai melandai kearah laut, dan beberapa daerah perairan terdapat yang bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang.

Taman nasional ini memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili diantaranya Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton throchelliophorum, dan Sinularia spp.

Kekayaan jenis ikan yang dimiliki taman nasional ini sebanyak 93 jenis ikan konsumsi perdagangan dan ikan hias diantaranya argus bintik (Cephalopholus argus), takhasang (Naso unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon specullum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma, Caesio caerularea, dan lain-lain.

Selain terdapat beberapa jenis burung laut seperti angsa-batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis); juga terdapat tiga jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).

Masyarakat asli yang tinggal di sekitar taman nasional yaitu suku laut atau yang disebut suku Bajau. Menurut catatan Cina kuno dan para penjelajah Eropa, menyebutkan bahwa manusia berperahu adalah manusia yang mampu menjelajahi Kepulauan Merqui, Johor, Singapura, Sulawesi, dan Kepulauan Sulu. Dari keseluruhan manusia berperahu di Asia Tenggara yang masih mempunyai kebudayaan berperahu tradisional adalah suku Bajau. Melihat kehidupan mereka sehari-hari merupakan hal yang menarik dan unik, terutama penyelaman ke dasar laut tanpa peralatan untuk menombak ikan.

Pulau Hoga (Resort Kaledupa), Pulau Binongko (Resort Binongko) dan Resort Tamia merupakan lokasi yang menarik dikunjungi terutama untuk kegiatan menyelam, snorkeling, wisata bahari, berenang, berkemah, dan wisata budaya.

Musim kunjungan terbaik: bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Desember setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi: Kendari ke Bau-bau dengan kapal cepat regular setiap hari dua kali dengan lama perjalanan lima jam atau setiap hari dengan kapal kayu selama 12 jam. Dari Bau-bau ke Lasalimu naik kendaraan roda empat selama dua jam, lalu naik kapal cepat Lasalimu-Wanci selama satu jam atau kapal kayu Lasalimu-Wanci selama 2,5 jam. Wanci merupakan pintu gerbang pertama memasuki kawasan Taman Nasional Wakatobi.

Kantor : Jl. Dayanu Ikhsanudin, Bau-bau
Buton, Sulawesi Tenggara
Telp. (0402) 25652
E-mail: tnkw-buton@msn.com

Dinyatakan ----
Ditunjuk Menteri Kehutanan, SK No. 393/Kpts-V/1996
luas 1.390.000 hektar
Ditetapkan Menteri Kehutanan, SK No. 765/Kpts-II/2002
luas 1.390.000 hektar
Letak Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara

Temperatur udara 19° - 34° C
Curah hujan 1.000 – 2.200 mm/tahun
Ketinggian tempat 0 - 3 meter dpl
Letak geografis 5°12’ - 6°10’ LS, 123°20’ - 124°39’ BT


Sumber :
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_wakatobi.htm