Sunday, February 14, 2010

Wakatobi: Surga di Atas dan di Bawah





Ketika mendapatkan tawaran pertama kali untuk mengerjakan proyek di Kabupaten Wakatobi, yang terlintas dalam ingatanku adalah Nadine Candrawinata, mantan Puteri Indonesia itu. Saya tidak tahu di mana itu Wakatobi. Aku hanya sering mendengar di berita-berita infotainment kalau Nadine sering menyelam disana, dan merupakan duta wisata disana. Parah benar diriku ini.

Solusinya, aku bertanya kepada Mbah google, di mana Wakatobi itu, dan bagaimana bisa mencapai ke sana. Dalam beberapa detik, muncul ribuan link ke Wakatobi. Sakti sekali Si Mbah yang satu ini. Lebih sakti dari Mama Laurent. Nah, ternyata, Wakatobi itu adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Terletak di Laut Banda, Wakatobi dulunya hanya kecamatan di Kabupaten Buton sebelum mekar pada Desember 2003. Ir. Hugua menjadi bupati pertama yang dipilih melalui Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 2006 yang lalu. Hugua adalah orang asli Wakatobi, tepatnya dari Pulau Tomia.

Wakatobi sendiri merupakan akronim dari empat pulau besar yang ada disana. Yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.

Sebuah kombinasi yang unik, yang membuat saya berpikir juga kalau Wakatobi itu ada di Jepang! Tiap pulau ini punya ciri khas yang menonjol. Misalnya, Wangi-Wangi maju sebagai pusat ekonomi, Kaledupa dan Tomia sebagai pusat pendidikan, dan Binongko sebagai pusat penyebaran agama Islam.

Wakatobi sendiri sebenarnya memiliki 142 pulau, tapi yang dihuni 7 pulau saja. Jadi, 97 persen wilayah kabupaten ini adalah lautan. Daratan hanya 3 persen saja. Dulunya, kawasan ini dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi. Di dalam beberapa peta, masih ada sisa penyebutan Kepulauan Tukang Besi. Meskipun sebenarnya yang menjadi daerah penghasil alat-alat dari besi itu hanya ada di Pulau Binongko. Tapi konon, alat-alat dari besi yang dihasilkan oleh pulau ini memang ciamik. Dari peralatan-peralatan besi yang paling besar sampai dengan yang paling kecil.

Tampak di internet indahnya pemandangan pantai dan bawah lautnya. Memang, Wakatobi termasuk dalam jalur segitiga karang dunia (world coral triangle). Di dunia ini adalah 6 negara yang masuk dalam segitiga emas ini. Terbentang dari Thailand, Malaysia, Philiphina, Indonesia (Bunaken, Wakatobi, Bali, dan Lombok), Timor Leste, Papua Nugini dan berakhir di Solomon. Dan, Wakatobi, tepat berada di jantungnya.

Berdasarkan data dari Operational Wallacea (Opwal), Wakatobi memiliki 750 species coral dari 850 yang ada di dunia. Lebih banyak dari koleksi di Karibia yang hanya 650 species. Tak heran, kalau keindahan dunia bawah laut di Wakatobi akan setimpal dengan pemandangan di atas lautnya. Belum lagi kekayaan budaya.Tiap pulau memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Namun, yang lebih penting adalah bagaimana bisa pergi ke sana. Dari hasil googling, hanya ada dua cara. Yaitu, naik kapal dan pesawat. Kalau naik kapal, bisa dari Makassar-Bau-Bau-Wakatobi atau Kendari-Bau-Bau-Wakatobi (lebih tepatnya Pulau Wangi-Wangi). Kalau naik pesawat (Merpati) dari Bali.

Langsung saja aku telepon kantor Merpati di Surabaya. Kata Mbak operator, “Wakatobi itu di mana ya, Mbak? Kok saya belum pernah mendengarnya” aku masih ngeyel. Aku tidak percaya si Mbak tidak tahu produk yang dijualnya.

Lha, aku jelaskan kepada Si Mbak, kalau aku dapat info di internet, bla bla bla… Si Mbak tetap ngeyel juga. Aku malah mau ditawarin tiket mau Biak!. Waduh, jauh bangetttt bedanya. Biak dengan Wakatobi. Ketika aku bertemu dengan Hugua, bupati Wakatobi, beberapa saat setelah itu, aku jadi tahu, kalau Merpati terbang ke sana itu hanya uji coba. Pesawat uji coba memang menggunakan Merpati Airlines. Para penumpang ujicoba pesawat ini adalah para orang-orang tua, diajak keliling-keliling pulau Wangi-Wangi.

So, pilihannya hanya dengan kapal laut. Kalau diperinci perjalanan dari Makassar ke Bau-Bau selama 12 jam, disambung dari Bau-Bau ke Wakatobi selama tujuh jam. Itupuan dengan catatan kalau ombak laut sedang tenang dan bersahabat. Kalau tidak, belum bisa dipastikan berapa lama waktu yang kita butuhkan.

Ombak Laut Banda tidak pernah bisa diprediksi. Bisa mencapai 6 meter atau 7 meter. Aku ngeri membayangkan itu. Bukan apa-apa, karena aku tidak bisa berenang. Memalukan ya? Kalau memang tidak ada pilihan lain, aku sudah siap-siap membeli baju pelampung. Tapi ketakutan ini tidak bisa menghilangkan rasa excited. Penasaran bercampur takut. Semuanya bercampur menjadi satu, dan membuat perutku mules. Tapi, ya namanya adrenalin. Terpacu terus.

Lalu, datanglah kabar baik itu, dari seorang rekan di Kendari, Pak Ruslan. Kata Pak Ruslan, sekarang ada pesawat yang kesana. Maskapainya bernama Susi Air. Maskapai milik Susi Pudjiastuti, pengusaha perikanan asal Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Kepada Susi Air, pemda menggunakan sistem charteran. Karena itu tidak heran, kalau di tiket kita, akan tertera Pemerintah Kabupaten Wakatobi.

Untuk charter ini, pemda mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 1,2 milyar setahunnya. Kenapa harus charter? Karena, bandara Matahora di Pulau Wangi-Wangi belum mengantongi ijin operasional dari Departemen Perhubungan (Dephub). Karena itu, pesawat komersil belum bisa operasi. Hanya pesawat charter yang boleh mendarat di sini.

Penerbangan ke Wakatobi launching pada Juli 2009. Selama satu minggu, pesawat ini terbang tiap hari. Sehari sebanyak dua kali. Pagi dan sore. Kalau pagi terbang jam 08.30, dan kalau sore jam 15.30. Baru baliknya membawa penumpang dari Wakatobi ke Kendari. Di Kendari, hanya satu agen travel yang menjual tiket Susi Air ini. Yaitu, Patapulo di depan mall Mandonga, Kendari. Harga tiket, kalau kita beli lebih dari lima tiket, bisa mendapatkan harga sekitar Rp. 500 ribu untuk yang dari Kendari. Tetapi, kalau dari Wakatobi orang yang bukan penduduk Wakatobi, harus membayar Rp. 700 ribu. Sebab, subsidi hanya diperuntukkan bagi orang Wakatobi.

Dengan adanya penerbangan kesana, aku jadi tenang dan semakin bersemangat pergi kesana.


Pulau Wangi-Wangi: Pusat Ekonomi

Pesawat yang kami tumpangi, Susi Air menggunakan jenis Cesna 208 B Grand Caravan. Pesawat ini diisi 12 orang penumpang. Di kalangan orang Wakatobi sering muncul gurauan penamaan pesawat ini. DC 12 (dibaca: diisi 12). Pesawat ini terbang rendah sekali di atas Laut Banda. Saya tidak tahu berapa ketinggiannya, mungkin sekitar 7.500 di atas permukaan laut (DPL). Pesawat ini dikemudikan oleh pilot dan co-pilot import. Mereka cakep-cakep. Ada yang bilang mereka dari Italia. Ya, dengan adanya dua mas-mas ini, penerbangan semakin menyenangkan. Kalau dalam penerbangan apapun, biasanya aku sudah tidur sebelum take off, dalam penerbangan ini, tidak sekejap pun bisa memejamkan mata. Selain karena pemandangan alam begitu indah dengan Laut Banda dan pulau-pulau kecil di bawah sana, juga karena mas-mas cakep ini.

Dari atas, aku bisa melihat kapal-kapal cepat yang melintas di Laut Banda. Melihat hutan-hutan tropis di bawah sana. Ada yang hutannya masih tebal, tetapi ada juga beberapa yang gundul. Kadang, terlihat pulau-pulau berpenghuni. Tapi masih sangat jarang-jarang penduduknya. Kadang, pulau-pulau kosong. Hanya ada pulau, dan hamparan pasir putih. Dari atas, terlihat warna biru dan hijaunya laut di bawah sana. Masih sangat bersih.


Membuatku merasa sangat sentimentil. Overwhelmed.

Dalam satu perjalanan pulang, aku melihat sinar surya senja melimpahi Laut Banda. Begitu indah. Aku jadi teringat pelajaran Geografi jaman sekolah dulu. Tentang luasnya Indonesiaku. Tentang kenapa kepulauan terbesar di dunia ini dinamakan Indonesia. Tentang pulau-pulaunya. Tentang laut-lautnya. Huhg, jadi sedikit sentimentil pokoknya.

Dibutuhkan penerbangan selama 40 menit dari Bandara Wolter Monginsidi di Kendari sampai dengan bandara Matahora di Pulau Wangi-Wangi. Pulau ini merupakan pusat pemerintahan Wakatobi. Ketika mendekati Wangi-Wangi, nampak dari atas atol yang membelit pulau ini. Konon, dengan adanya atol ini bisa menyelamatkan Wangi-Wangi seandainya terjadi gempa tektonik di bawah laut dan terjadi tsunami.

Bandara Matahora belum selesai proses pembangunannya. Masih ada satu bangunan kecil bergenting dicat biru yang merupakan pusat semua kegiatan di bandara itu. Ya ruang tunggu, ya counter check in. Masih ada satu maskapai disana. Ya, Susi Air itu tadi.

Pembangunan bandara ini adalah upaya untuk membuka keterisolasian daerah ini. Bagaimanapun bagusnya objek wisata di kabupaten ini, kalau aksesnya sulit, akan sangat susah untuk mengundang wisatawan agar mau datang.

Tidak semua orang mau menempuh perjalanan laut yang sangat panjang. Ini terkait dengan visi dan misi bupati untuk fokus terhadap pembangunan sektor perikanan dan kelautan dan pariwisata. Bagi daerah yang masih sangat muda (6 tahun), adalah sebuah prestasi menakjubkan bisa membangun bandara.

Jarak antara bandara dengan pusat pemerintahan di Wanci kurang lebih 30 kilometer. Jalan-jalan protokol mulai dibangun. Belum sepenuhnya selesai semua. Masih banyak tumpukan material di jalan-jalan. Selain pusat pemerintahan, Wangi-Wangi juga merupakan pusat perkembangan ekonomi dibandingkan dengan tiga pulau besar lainnya. Pulau Kaledupa dan Tomia maju di bidang pendidikan. Sedangkan, Binongko yang merupakan pulau besar terjauh, terkenal dengan tempat persebaran agama Islam. Di Wakatobi, Islam adalah agama yang dipeluk oleh penduduk asli. Belum ada bangunan gereja atau tempat ibadah lainnya. Hanya masjid.

Dari sejarahnya, Wangi-Wangi memang didatangi para nelayan terlebih dahulu. Menurut cerita masyarakat setempat, para nelayan dari Ambon atau tempat lainnya di perairan Banda, sebelum mereka ke Buton, terlebih dahulu singgah di pulau ini. Mereka menjemur ikan-ikan hasil tangkapannya dan mengeringkannya disini. Tidak ketinggalan, rempah-rempah.

Udara Wangi-Wangi sangat panas. Tanahnya terdiri karang dan kapur kars. Di sepanjang jalan, hanya ada tanaman mete dan ubi kayu. Ada istilah, kalau di Wangi-Wangi ini, tumbuhan bukan ditanam di tanah, tetapi di karang. Tanah-tanah ada di atas bebatuan. Tanah-tanah ini terbentuk dari tumbuhan-tumbuhan yang jatuh ke atas bebatuan, menjadi humus dan kemudian menjadi tanah.

Desa pertama yang dijumpai menuju Wanci adalah Desa Matahora. Tetapi, desa ini tidak terlalu panjang. Wilayah Matahora tidak terlalu panjang di jalan protokol karena lebih masuk ke dalam, ke pinggiran pantai. Ada dua daerah pantai disini. Yaitu di Matahora sendiri, dan di Dusun Sousu.

Kemudian disusul Longa. Rumah-rumah di Longa berderet dengan rapi dan teratur. Rumah-rumah saling berhadapan satu sama lain. Rumah dari batu bata semua. Pagar-pagar juga dibuat seragam. Tidak nampak rumah panggung di desa ini. Kalau di desa Matahora, pagarnya dari batako, di Longa pagar-pagar rumah penduduk dari bambu. Melihat keseragaman pagar ini mengingatkan aku pada desa-desa di Jawa pada dekade 80-an. Di mana rumah-rumah dan pagar-pagar masih sangat seragam.

Perjalanan ke Wanci dibutuhkan waktu sekitar 20 menit. Itu karena jalan yang belum semuanya bagus. Di sepanjang jalan ini, dilalui juga beberapa desa, seperti Patuno, Waetuna dan Waha. Patuno dan Waetuna merupakan desa-desa penghasil ikan tuna di Wangi-Wangi. Selain itu, Waetuna dan Paetuna dikenal dengan pantainya yang indah.

Desa terakhir sebelum memasuki Wanci adalah Waha. Di perbatasan kedua desa, ada sebuah tugu. Tugu itu, sekaligus menandai mulai adanya coverage jaringan Telkomsel! Tak heran, setelah tugu ini, ada spanduk Telkomsel. Sementara itu, Waha sampai dengan Matahora dikenal dengan nama WTS alias Wilayah Tanpa Signal. Sebenarnya, di beberapa desa sebelum Waha, yang bisa coverage-nya adalah Indosat. Mereka memanfaatkan BTS yang ada di Pulau Kaledupa.

Selain infrastruktur jalan yang masih semuanya belum diaspal, masih ada kendala transportasi. Angkutan kota atau biasa disebut dengan pete-pete, baru ada dari Longa. Sementara dari bandara belum ada transporasi ke arah kota. Tapi, biasanya, orang akan dengan senang hati memberikan tumpangan dari bandara sampai dengan Wanci.

Di Wanci, mulai terlihat aktivitas ekonomi yang menggeliat. Pasar sentral ada di tempat ini. Selain itu, kantor-kantor pemerintah, kantor pos, bank, kantor polisi, dan sebagainya.

Hotel-hotel sudah mulai bermunculan di Wanci. Ini merupakan pengaruh geliat wisata di Wakatobi. Hotel yang bisa ditemui antara lain Hotel Wakatobi, Hotel Azziziyah, Hotel Ratna, dan sebagainya. Mulai muncul juga restoran-restoran. Seperti restoran Wisata. Rental kendaraan juga tersedia. Kalau mobil berkisar antara Rp. 300 ribu sampai dengan Rp. 600 ribu. Bisa juga menyewa sepeda motor. Per hari Rp. 40 ribu.

Di Wangi-Wangi, objek wisata selain pantai adalah adanya beberapa diving spots dan benteng Liya Togo di Desa Liya Togo. Tempat ini merupakan peninggalan masa Kesultanan Buton. Ini merupakan daerah keraton. Yang terbentang mulai dari Liya Timi. Dari Liya Timi, mulai terasa daerah keratonnya. Menjelang masuk ke Liya Togo, mulai berjajar rumah panggung dari kayu dengan arsitektur yang agak unik. Benteng ini melingkupi desa. Di dalam benteng, terdapat beberapa peninggalan bersejarah juga. Seperti misalnya, Masjid Al Mubaraq ataupun makam ulama di dekat masjid.

Masjid Al Mubaraq batu pertamanya diletakkan pada 1548, delapan tahun setelah didirikannya Kesulatanan Buton. Kalau dilihat sekilas, masjid ini memang telah dibangun dari tembok. Tapi, sebenarnya masjid ini baru saja direnovasi bagian atasnya. Yang masih dibiarkan peninggalan dari masa kesultanan adalah pondasinya. Kalau diamati dengan mendalam, pondasi masjid ini dibangun dengan begitu kuat. Dari batuan barang. Di depan masjid teronggok bekas meriam jaman dulu.

Dua kali mengunjungi Wakatobi, hanya sempat singgah di dua pulau saja. Yaitu Wangi-Wangi dan Kaledupa. Tidak sempat juga singgah di Pulau Hoga, padahal hanya 15 menit naik kapal nelayan dari Kaledupa. Tidak sempat juga untuk merasakan menyelam atau sekedar snorkeling. Jadi, aku tidak bisa membuktikan indahnya surga bawah laut. Hanya tahu surga atas lautnya saja.


Sumber :
Hariatni Novitasar
http://baltyra.com/2009/10/27/anak-negeri-wakatobi/
27 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment